Tantangan Menuju Wartawan Profesional 

Berita20 Dilihat

Gerakan reformasi tahun 1998 menuntut adanya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya tuntutan terhadap demokratisasi, keterbukaan dan pengakuan akan HAM (hak asasi manusia red) juga terjadi dalam kehidupan pers di Indonesia, yang diwujudkan dengan pembentukan UU No 40 tentang Pers. 

“Namun, perkembangan ini juga diikuti dengan tumbuhnya wartawan ’bodrex’ dan wartawan tanpa surat kabar yang semakin berkembang”.Era globalisasi seperti sekarang ini kemerdekaan pers dan fungsi kontrolnya diikuti puluhan wartawan cetak dan elektronik, baik dari ujung Sabang sampai Merauke mendapat masukan lewat  mengenai perkembangan kemerdekaan pers dan fungsi kontrolnya.Seiring dengan fenomena munculnya wartawan “bodrex” dan tanpa surat kabar, sejak reformasi bergulir, juga muncul dengan apa yang disebut praktik “jurnalisme provokasi”, “jurnalisme anarkhis”, “jurnalisme preman”, jurnalisme prasangka termasuk “trial by the press”. Hanya saja, ia praktik-praktik semacam itu secara berangsur-angsur kini sudah mulai berkurang, karena penerbitan yang hanya berorientasi pada persaingan tanpa mengindahkan profesionalisme, ternyata ditinggalkan pembacanya. Setelah kurun waktu sekitar empat tahun kemerdekaan pers dengan adanya UU No 40 tentang Pers harus diakui bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. 

 Hal ini ercermin dari berbagai penilaian dan reaksi terhadap perkembangan pelaksanaan kemerdekaan pers nasional yang muncul, baik yang positif maupun negatif. Akibat keadaan itu di kalangan komunitas pers sendiri sempat timbul kekhawatiran bahwa kemerdekaan pers sedang mengalami ancaman, khususnya ketika berbagai kalangan, baik masyarakat, pemerintah, legislatif maupun pengamat pers ada yang menilai bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers sudah “kebablasan” dan terlalu liberal, sehingga muncul pemikiran  melakukan pembatasan kebebasan pers dalam bentuk revisi atas UU Pers dimaksud. “Ada pemikiran merevisi UU Pers ini telah menjadi kecurigaan komunitas pers sebagai ancaman dalam upaya  mengontrol kembali pers atau memasung kembali kemerdekaan pers. 

Namun pemikiran ini tampaknya sudah mulai surut pemerintah sendiri tidak berkeingian merevisi Undang-undang Pers”.Di sisi lain, kalangan yang menaruh harapan terhadap perkembangan kemerdekaa pers berpendapat bahwa munculnya keadaan tersebut adalah sebagai ekses dari eforia kemerdekaan pers. Karena itu, perlu upaya bersama dalam menjaga dan mengembangkan kemerdekaan pers, dengan pemikiran bahwa agar ada standarisasi aplikasi dan implementasi kemerdekaan pers.

Kemerdekaan Pers menurut Undang-undang No.40 Tahun 1999 “Nasionalisme, Kemerdekaan Pers, dan fungsi kontrolnya, mengenai pembangunan di era kebebasan reformasi masih relevankah pers bebas dan bertanggung jawab?

 Kebebasan Pers di negara liberal sebuah perbandingan,selain para wartawan, kegiatan itu juga mengundang kalangan lain seperti wakil dari sejumlah universitas yang mempunyai jurusan jurnalistik atau komunikasi serta beberapa dari Humas Polri , TNI dan instansi pemerintahan kota/kabupaten.(Penulis : Dwi Prawiro Cahyono)

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed